Rumah-rumah binatang karang yang terdapat di laut dalam akan membentuk Gosong Karang, yaitu dataran di pantai yang terdiri dari batu karang. Selain Gosong Karang ada juga Atol, yaitu pulau karang yang berbentuk cincin atau bulan sabit. Batu-batu karang yang dihasilkan oleh bentos dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, rekreasi, sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Sedangkan zat kimia yang terkandung dalam tubuh bentos bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk permbuatan obat dan kosmetika.
Mahkluk-makhluk di lautan amat menarik perhatian para peneliti. Banyak yang tidak memiliki senjata, semacam gigi yang kuat atau panser pelindung seperti pada kura-kura. Kelihatannya makhluk hidup di lautan ini dipasrahkan begitu saja kepada pemangsa. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, banyak makhluk hidup di lautan yang kelihatannya tidak berdaya, memiliki sistem pertahanan yang cukup ampuh. Dengan memproduksi bahan kimia atau racun tertentu, makhluk hidup semacam ganggang, keong laut, spons, kerang atau terumbu karang, dapat mempertahankan diri secara efektif. Sejauh ini, para peneliti sudah meneliti lebih dari 10.000 jenis unsur bio-aktif dari biota laut. Banyak yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuat obat. Misalnya saja unsur aktif Aciclovir yang berasal dari sejenis spons, yang kini secara luas digunakan sebagai obat herpes. Aciclovir termasuk kelompok unsur aktif Nukleosid-Analog, yang bekerja menon-aktifkan polymerase DNA virus herpes. Atau unsur aktif Pseudo-pterosin yang berasal dari sejenis terumbu karang, kini unsur aktifnya secara luas digunakan sebagai krim pelindung kulit, untuk mengurangi pembengkakan akibat sengatan matahari. (http://www.kelas-mikrokontrol.com/jurnal/iptek/bagian-4/mencari-obat-di-lautan.html)
Laut dalam ternyata menyimpan kekayaan emas. Menurut para ahli, konsentrasi emas di dalam air laut adalah 0,00005 bpj (bagian per juta). Satu bpj (bagian per juta) dalam hal ini adalah 1 miligram benda padat yang larut dalam 1 liter air.
Jika konsentrasi emas di dalam air laut adalah 0,00005 bpj berarti di dalam setiap 1 liter air laut terdapat 0,00005 mg emas. Sepintas lalu kelihatannya memang sangat sedikit, namun jika kita hitung berapa emas yang terkandung di dalam 1 km3 (kilometer kubik) air laut:
Satu kilometer kubik sama dengan 1.000.000.000.000 liter atau 1012 liter, jadi di dalam satu kilometer kubik air laut terdapat:
1012 liter x 0,00005 mg :1 liter x 1 gram :1000 mg = 50.000 gram emas atau 50 kilogram emas.
Jika harga emas sekarang kira-kira adalah Rp 300.000,- per gram maka 50 kilogram emas adalah 15 milyar rupiah. Sebuah jumlah rupiah yang fantastis! Nah, itu baru nilai rupiah dari emas yang terkandung dalam 1 kilometer kubik air laut padahal di planet kita tercinta ini terdapat kira-kira 1,3 milyar kilometer kubik air laut. Begitu besarnya nilai ekonomi dari emas yang terkandung di dalam air laut di planet bumi ini.
(http://pikiran-segar.blogspot.com/2013/08/emas-dapat-ditemukan-dalam-air-laut.html)
Laut Indonesia memiliki potensi besar dalam menyerap karbon. Sebesar 46,6 persen fungsi penyerapan karbon (CO2) oleh lautan dunia, dimiliki Indonesia. Potensi ini seharusnya bisa dilirik, sebagai sumber devisa negara dalam penjualan karbon, format Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM).
Langit biru di kepala kita, ternyata menyimpan bencana. Jutaan kilo jenis karbon mengambang, mengumpul, bersatu dan menyekap bumi seperti di dalam rumah kaca. Tersekap di dalam rumah kaca, jelas akan makin meningkatkan panas suhu bumi. Efeknya terjadi kemudian, salju Kilimanjaro melumer, berbagai flora dan fauna yang tak tahan dengan hawa panas terbunuh, serta perubahan iklim dan cuaca yang merugikan.
Bencana ini sendiri sebenarnya berasal dari tangan manusia sendiri. Dimana karbon yang ada, sebetulnya berasal dari sisa emisi energi fosil yang dipakai manusia. Pemakaian bensin dan solar pada kendaraan, pembuangan emisi dari pabrik-pabrik, merupakan beberapa contoh aktifitas penggunaan energi fosil. Berbagai cara kemudian dilakukan untuk mengurangi hal ini. Termasuk didalamnya, memberikan bantuan dana melalui pembelian karbon, dari negara-negara yang memiliki sumber daya untuk penyerapan karbon kembali ke bumi.
Indonesia sebagai salah satu penanda tangan kesepakatan internasional, yang disebut Protokol Kyoto tersebut, jelas memiliki keuntungan. Karena ternyata negeri kita masih memiliki berbagai potensi sumber daya alam penyerap karbon. Selain hutan, potensi sumber daya penyerap karbon merupakan lautan. Hal ini pernah dijelaskan Anugrah Nontji, peneliti LIPI bidang oseanografi dalam bukunya yang berjudul ‘Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Fitoplankton’. Menurut Nontji, lautan memiliki fitoplankton, yang seperti halnya tumbuhan darat, juga memiliki kemampuan untuk berfotosintesis. Dalam proses fotosintesis tersebut, karbon dikonsumsi oleh fitoplankton untuk menghasilkan senyawa organik lain yang menjadi dasar kehidupan bagi hampir semua mahluk hidup di dunia. Dengan dasar tersebut, dapat dikatakan lautan kita yang berluas hingga 3.288.680 kilometer persegi, sebenarnya berpotensi untuk menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah sangat penting.
Potensi tersebut kemudian terbukti dari riset yang dilakukan Dr Armi Sudandi, peneliti pada bidang meteorologi ITB. “Kami melakukan riset terhadap dua skenario prediksi penyerapan karbon oleh lautan Indonesia,” ujarnya, ketika dihubungi di Bandung, Januari 2007 lalu. Pada dua skenario tersebut, urai Armi, menunjukan prediksi akan terjadi peningkatan penyerapan karbon di laut Indonesia hingga tahun 2050. “Kemudian mengalami penurunan kemampuan penyerapannya dari tahun 2060 hingga tahun 2100,” paparnya.
Angka cakupan penyerapan karbon oleh lautan Indonesia tertera cukup mencengangkan. Dari total penyerapan karbon dari seluruh lautan dunia, ternyata Indonesia mampu mengambil peran sebanyak 46,6 persen. Penelitian itu sendiri, dilakukan pada seluruh titik arah lautan di Indonesia. Dengan menggunakan berbagai data seperti angin, suhu permukaan laut (SST), salinitas permukaan laut (SSS), distribusi suhu serta data konsentrasi karbon.
Jelas ini bak harta karun yang tersimpan rapi. Namun sayangnya potensi itu bisa saja berkurang, atau bahkan hilang sama sekali. Bila kita tak mampu memelihara ekosistem lautan. Polusi dan limbah dari daratan, juga bisa membunuh hewan renik terkecil di lautan ini. Kematiannya jelas merusak ekosistem perairan lautan. Karena banyak satwa laut sebenarnya membutuhkan keberadaannya.
Demikian artikel mengenai potensi laut dalam, semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar