Blog buat belajar

Kamis, 16 April 2015

Cara Adaptasi Organisme Ekosistem Laut Dalam

Salah satu pembatas kehidupan organisme laut adalah kedalaman. Kedalaman berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan yang lain seperti makanan, cahaya, tekanan, suhu dan lain-lain, semuanya berpengaruh terhadap kondisi ekologi laut dalam terutama terhadap kehidupan organisme (ikan).

Adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Dengan keadaan tanpa adanya cahaya matahari, tekanan tinggi, salinitas tinggi dan faktor – faktor yang terdapat di dalam ekosistem laut dalam ini membuat biota laut dalam tersebut melakukan adaptasi, yakni :
1) Adapasi morfologi

Adaptasi morfologi adalah penyesuaian pada organ tubuh yang disesuaikan dengan kebutuhan organisme hidup. Pada biota laut dalam, adaptasi morfologi dapat dilihat dari bentuk tubuh biota laut dalam yang kecil dan pada umumnya bertubuh transparan karena tubuhnya tidak mengandung pigmen. Secara morfologis, senjata pembunuh seperti rahang, tengkorak dan dimensi mulut mengalami perubahan pada organisme laut dalam. Ciri umum mereka adalah mulut yang melebar, rahang yang kuat dan gigi-gigi tajam. Mereka harus seoptimal mungkin mencari mangsa yang jarang di laut dalam. Praktek kanibalisme juga sering terjadi di beberapa spesies.

Bentuk spesies non ikan seperti moluska dan sebangsanya akan adaptif untuk memakan mikroorganisme yang ada. Mereka sulit bersaing dengan ikan yang ganas. Untuk senjata mempertahankan diri, mereka biasanya mampu berkamuflase dengan kondisi sekitar.Satu persamaan dari mereka adalah, evolusi morfologis mengubah bentuk mereka menjadi kecil. Jarang ada organisme yang berdimensi panjang lebih dari 25 cm. Contoh dari hewan-hewan laut yang mampu hidup pada zona ini adalah Phronima, Cumi-cumi, Amoeba, Comb Jelly, Cope pod, dan ikan Hatchet.

      a. Warna
  • Umumnya biota laut dalam bertubuh transparan karena tubuhnya tidak mengandung pigmen. Ikan-ikan mesopelagik khusunya cenderung berwarna abu-abu keperakan atau hitam kelam. Tidak terdapat kontras warna seperti pada ikan-ikan epipelagik. Organisme yang hidup pada zona abisal dan batial sering tidak berwarna atau berwarna putih kotor, dan tampaknya tidak berpigmen ( khususnya hewan – hewan bentik ).
      b. Mata
  • Mata yang besar. Mata yang besar akan memberikan kemampuan maksimum untuk mendeteksi cahaya di dalam laut dalam yang intensitas cahaya nya sangat rendah dan mungkin diperlukan pula untuk dapat mendeteksi cahaya berintensitas rendah yang dihasilkan oleh organ – organ penghasil cahaya. Ikan – ikan pada laut dalam juga memiliki penglihatan senja yang sangat peka karena adanya pigmen rodopsin dan tingginya kepadatan batang retina.
  • Tidak bermata. Pada zona laut dalam yang terdalam lebih dari 2000 m ( abisal pelagic dan hadal pelagic ) ikan – ikan yang hidup disitu memiliki mata yang sangat kecil bahkan tidak bermata karena hidup di lingkungan yang gelap gulita bahkan mata tidak ada guna nya.
  • Mata berbentuk pipa tubuler. Mata ikan ikan dari beberapa family berbentuk silinder pendek berwarna hitam dengan sebuah lensa tembus cahaya berbentuk setengah lingkaran di puncak silinder .tiap mata mempunyai 2 retina ( yang satu di pangkal silinder sedangkan yang lainnya di dinding silinder ). Retina di pangkal silinder fungsinya untuk melihat obyek obyek yang dekat sedang yang terdapat di dinding silinder untuk melihat obyek – obyek yang jauh.
      c. Mulut
  • Ikan laut dalam relatif memiliki ukuran mulut yang besar. Dalam mulutnya terdapat gigi yang tajam dan melengkung ke arah tenggorokan, ini menjamin bahwa apa yang tertangkap tidak akan keluar lagi dari mulut. Mulut dihubungkan dengan tengkorak oleh suatu engsel yang memungkinkan ikan membuka sangat lebar daripada tubuhnya, sehingga memungkinkan untuk menelan mangsa yang lebih besar daripada tubuhnya. Hal tersebut dilakukan sebagai adaptasi terhadap langkanya makanan di laut dalam.
  • ikan Viper (Chauliodus macouni). Ikan Viper (ditemukan di 80-1600 meter – sekitar satu mil di bawah permukaan laut) adalah beberapa ikan yang tampak paling jahat di kedalaman. Mereka juga memiliki mata yang besar, kemungkinan untuk mengumpulkan cahaya sebanyak mungkin karena cahaya sedikit atau tidak sama sekali. Ahli biologi berspekulasi bahwa gigi yang tampak mengerikan dan rahang merupakan adaptasi untuk hidup di lingkungan rendah energi dari laut dalam. Makanan sangat langka di lingkungan yang tidak ramah, sehingga ikan yang tinggal di sini telah mengembangkan rahang yang sangat mematikan untuk memastikan bahwa mangsa mereka tangkap di rahang mereka tidak memiliki cara untuk melarikan diri. (photo courtesy of Paul Yancey, Biology Dept., Whitman College, Walla Walla Washington)

      d. Giagantisme abisal

  • Kelompok – kelompoak invertebrate tertentu khususnya amfipoda, isopoda, ostrakoda, misid, dan kopepoda berukuran jauh lebih besar daripada kerabat – kerabat mereka yang hidup dalam perairan – perairan yang dangkal. Keadaan dimana ukuran membesar dengan meningkatnya kedalaman . Hewan yang berukuran besar lebih mobile serta mampu menjelajahi wilayah yang luas dalam mencari pasangan bagi keperluan reproduksi dan memperoleh makanan. Jangka hidup yang panjang juga berarti bahwa periode dewasa seksual juga panjang, sehingga cukup waktu untuk mencari pasangan bagi kepentingan reproduksi.

2) Adaptasi fisiologi

Adaptasi fisiologi adalah penyesuaian yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar yang menyebabkan adanya penyesuaian pada alat-alat tubuh untuk mempertahankan hidup dengan baik. Di ekosistem laut dalam dapat dikatakan tidak terdapat produser karena tidak adanya sinar matahari yang menyebabkan tidak adanya proses fotosintesis pada ekosistem tersebut, sehingga biota laut dalam melakukan adaptasi fisiologi. Bentuk adaptasi fisiologi biota laut dalam adalah adalah organisme laut dalam mempunyai kapasitas untuk mengolah energi yang jauh lebih efektif dari makhluk hidup di darat dan zona laut atas. Mereka bisa mendaur energinya sendiri dan menentukan seberapa banyak energi yang akan terpakai dengan stok makanan yang didapat.

Kandungan air dalam jaringan tubuh ikan dan krustasea meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman sedangkan kadar lipid dan protein menurun.


3) Adaptasi Tingkah Laku

Adaptasi tingkah laku adalah penyesuaian mahkluk hidup pada tingkah laku / perilaku terhadap lingkungannya. Beberapa organisme yang mengalami siklus reproduksi, akan mempunyai perilaku yang unik untuk menarik pasangannya di tengah kegelapan. Mereka akan memendarkan cahaya yang tampak kontras dengan kondisi sekitar yang serba gelap. Dalam ekosistem dasar laut sebisa mungkin mereka dapat memperoleh sumber energi atau makanan agar dapat bertahan hidup, oleh karena itu beberapa ikan yang hidup di ekosistem ini dilengkapi keahlian khusus agar dapat memperbesar kemungkinan mendapatkan mangsa, seperti Ikan Fang Tooth yang memiliki tingkat agresifitas yang tinggi sehingga ketika ada mangsa yang lewat didepannya ia langsung dapat dengan cepat memakannya, karena memang tidak banyak hewan laut yang mampu hidup dalam ekosistem ini.

Kemudian contoh lainnya adalah Ikan Hairyangler yang tubuhnya dipenuhi dengan atena sensitif, antena tersebut sangat sensitif sekali terhadap setiap gerakan, fungsinya untuk mendeteksi mangsa yang ada didekatnya. Di laut dalam sering terlihat cahaya yang berkedip-kedip, cahaya tersebut adalah Bioluminescence.

Bioluminescence adalah cahaya yang dapat dihasilkan oleh beberapa hewan laut. Bioluminescence dihasilkan dari reaksi kimia (senyawa fosfor) yang terjadi pada tubuh makhluk hidup tertentu. Contoh hewan laut yang memendarkan cahaya adalah cumi-cumi, ubur-ubur, gurita, plankton dan lain-lain. Bioluminescence digunakan oleh hewan laut dalam sebagai alat perangkap atau alat untuk menarik mangsa, kurang lebih bioluminescence berfungsi sebagai umpan. Pada umumnya bioluminescence dimiliki oleh setiap hewan laut dalam, baik betina maupun jantan. Namun beberapa diantaranya ada yang hanya dimiliki oleh hewan laut betina. Cahaya bioluminescence yang dihasilkan biasa berwarna biru atau kehijauan, putih, dan merah. Walau sebagian besar bioluminescence digunakan untuk mekanisme bertahan hidup, namun beberapa diantara hewan laut dalam tersebut menggunakan bioluminescence untuk menarik lawan jenisnya.

Organ penghasil cahaya disebut fotofor. Khusus pada ikan dan cumi – cumi, fotofor terdapat dalam jumlah yang besar. Hewan yng memiliki fotofor paling banyak terdapat di bagian atas laut dalam, yaitu zona mesopelagik dan bagian atas zona batipelagik. Di bagian terdalam dari laut dalam jarang ditemukan bioluminesens ( Nybakken,1988 :149 ).

Fungsi fotofor antara lain ( Nybakken,1988 :151 ) :
  • Melumpuhkan sejenak predator . hal ini dapat terjadi karena fotofor menghasilkan suatu cahaya kilat yang menyilaukan
  • Sebagai umpan agar organisme yang dimangsa mendekat sampai jarak jangkau terkaman seekor predator
  • Menerangi daerah sekelilingnya sehingga suatu predator dapat melihat mangsanya.

Secara umum, fungsi bioluminescence menjadi 3 kelompok, yaitu :

1. Pertahanan


Kelompok dinoflagellata, atau yang biasa kita sebut dengan kelompok ubur-ubur, menggunakan emisi cahaya dari enzim green flourecent protein-nya untuk mempertahankan diri dari serangan predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda dan ikan menggunakan pendaran cahaya ini sebagai kamuflase untuk sembunyi dari predatornya. Mekanisme pertahanan ini membuat mereka tersamarkan diantara sinar lain di perairan. Pada beberapa hewan darat yang juga mengeluarkan cahaya berpendar ini mekanisme pertahanan dengan menggunakan emisi cahaya disebut aposematisme. Penyamaran dengan menggunakan aposematisme tersebut membuat hewan-hewan tersebut seakanakan beracun untuk dimakan atau tidak enak untuk dimakan sehingga predator akan menghindarinya. Kunang-kunang adalah salah satu hewan yang mengeluarkan cahaya berpendar sebagai aposematisme sehingga predator mengganggap bahwa kunang-kunang tersebut beracun. Beberapa hewan laut nampak enggan untuk memakan zooplankton dikarenakan zooplankton mengeluarkan bioluminescence. Zooplankton tersebut akan mengeluarkan cahayanya saat berada di perut predator, sehingga predator tersebut mudah ditemukan oleh predator lain yang lebih tinggi tingkatannya. Fenomena ini tampak pada udang misid yang memakan dinoflagelata sehingga tubuhnya akan berpendar dan mudah dikenali oleh pemangsa yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu Porichthys notatus.

2. Predasi


Selain sebagai pertahanan, bioluminescence juga digunakan para predator untuk menarik mangsanya. Predator yang menggunakan emisi cahaya sebagai predasi adalah ikan angel dan hiu Isistius brasiliensis. Hiu Isistius brasilensis menggunakan bagian bawah rahangnya untuk menarik mangsanya. Cumi-cumi dan ikan-ikan kecil akan mendekat pada cahaya tersebut karena mengira siluet tersebut adanya penyamaran dari mangsa-mangsa mereka. Setelah mangsa-mangsa tersebut mendekat pada rahang paus tersebut, itu akan lebih mudah bagi paus untuk menangkap mangsanya. Selain pada paus Isistius brasiliensis, paus sperma atau Physeter macrocephalus juga melakukan hal yang sama dalam melakukan predasi.

3. Sinyal Kawin

Beberapa hewan yang mempunyai bioluminescence menggunakan emisi cahayanya sebagai pertahanan dan predasi.

a. Reaksi Gen Bioluminescence

Reaksi bioluminescence pada setiap organisme berbeda-beda, bergantung pada organisme itu sendiri dan enzim yang dikandung dalam reaksi bioluminescence tersebut. Namun secara umum, reaksi bioluminescence melibatkan enzim luciferase dan substrat luciferin yag strukturnya dapat berbeda-beda antara satu organisme dengan organisme lainnya. Berikut dipaparkan reaksi bioluminescence pada beberapa organisme:

      1. Bakteri
  • Reaksi bioluminescence pada bakteri yang menyebabkan bakteri tersebut berpendar adalah sebagai berikut :
  • FMNH2 + RCHO + O2 à FMN + RCOOH + H2O + hv
  • Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi dari senyawa Riboflafin Fosfat (luciferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak sehingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalis oleh enzim luciferase. Namun selain luciferase, masih ada enzim-enzim lain yang bekerja pada reaksi ini. Enzim-enzim tersebut diatur oleh sebuah operon yang disebut operon lux.
      2. Dinoflagelata
  • Pada Dinoflagelata, substrat luciferin yang bekerja untuk menghasilkan emisi cahaya ini sangat mirip dengan klorofil pada tumbuhan hanya berbeda pada ion metalnya. Struktur luciferin ini juga ditemukan pada sejenis udang yang bergenus euphausiid. Pada pH ± 8, molekul luciferinnya akan berikatan dan dilindungi oleh protein pengikat luciferin. Namun, jika pada pH ±6, enzim luciferin ini akan berubah konformasinya, kemudian sisi aktifnya bebas dan kemudian dihasilkanlah cahaya bioluminescence.
     3. Ostracod
  • Enzim yang dihasilkan pada Ostracod atau sejenis udang-udangan ini bergantung pada makanannya. Beberapa ikan dapat berhenti berpendar jika ia kekurangan makanannya. Sejauh ini substrat luciferin pada sejenis Ostracod ini adalah dari keluarga Cypridina, Vargula, dan beberapa jenis ikan 
Demikian artikel mengenai  Cara Adaptasi Organisme Ekosistem Laut Dalam, semoga bermanfaat. Jangan lupa untuk bergabung dengan follow blog ini.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support