Blog buat belajar

Senin, 16 Juli 2018

CERITA INSPIRATIF || GURU TANPA GELAR SARJANA

Yusril Mahendra
"GURU TANPA GELAR SARJANA"

Penulis: Rukuan Sujuda

Dihembus udara pagi lembab oleh embun, pancaran sang surya menembus celah dinding bambu, menghangatkan seisi rumah. Tampak matahari sudah setonggak, itu artinya ia harus segera berangkat. Mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek, dipadukan celana dasar hitam, rambut disisir berdiri, ini menjadi gayanya hari ini. Sekali lagi, ia melihat ke arah cermin, memastikan dirinya siap. Setelah berpamitan dengan sang istri, ia pun keluar rumah penuh percaya diri.

Jalanan setapak dilewatinya, pasir putih lembut menjadi tandanya. Beberapa gubuk kecil terbuat dari bambu beratap jerami menjadi pemandangan yang wajar. Ia menyapa setiap orang yang dilewatinya, mengembangkan senyum persahabatan bagi siapa saja, salamnya pun disambut hangat. Nampak sekali kerukunan itu terjalin. Tiba di depan pintu, ia terpaku. Senda gurau anak-anak terdengar riuh, saling kejar-kejaran, dan ada juga yang hanya diam duduk termangu. Seorang bocah akhirnya menyadari bahwa sang guru sudah berdiri mengamati, lalu ia mengomando teman-temannya untuk menempati kursi-kursi lusuh tanpa meja itu. Ia pun masuk, lalu menyapa

"Assalamualaikum... anak-anak," ucapnya mengawali pertemuan.

"Waalaikumsalam.... Pak guru," jawab sang anak serentak berirama.

Lalu keheningan pun dirasakan saat lantunan doa dihaturkan kepada Sang Pemilik Kehidupan. Ia pun melanjutkan dengan menulis beberapa angka penjumlahan di papan tulis, hari ini belajar berhitung ungkapnya. Bocah-bocah tak berseragam ini pun mematuhi perintah sang guru, setelah usai menulis, ia pun berpamitan.


Kemudian jalan menuju tempat di sebelahnya, satu-satunya bangunan permanen yang dimiliki penduduk mayoritas Suku Bajo ini, ia masuk ke dalam masjid. Puluhan bocah dengan perawakan lebih besar sudah menunggunya. Setelah mengucapkan salam dan berdoa, ia pun membuka buku ilmu pengetahuan alam kelas 2 SD, menyalinnya di papan tulis. Sama halnya untuk kelas 3 SD, ia pun menuliskan bahan ajar yang ingin disampaikan pada hari ini. Setelah semua rampung diukir, ia berpamitan untuk kembali ke kelas sebelumnya. Ia memberi intruksi sang anak didik agar mencatat dan tidak ribut atau keluar ruangan.


Inilah rutinitas yang dilakukan Yusril Mahendra saban hari. Mondar mandir pindah kelas untuk mentransfer pengetahuan yang dimilikinya. Bermodal beberapa buku paket yang dibawanya dari tanah Jawa, ia mengabdi menjadi guru bagi anak-anak di Pulau Kera, Kupang. Ia merupakan guru satu-satunya yang dimiliki warga Desa Uiasi, Sulamu. Yusril sapaan akrab anak dari pasangan Ahmad Arfan dan Mulyana ini sudah mendedikasikan dirinya sejak tahun 2013 silam. Ia memborong semua mata pelajaran sekaligus merangkap menjadi guru di tiga kelas yakni kelas 1,2 dan 3 Sekolah Dasar (SD). Namun, siapa mengira kalau sang guru ini hanya tamatan SMA di Pondok Pesantren Abu Hurairah, Sapeken, Sumenep, Madura. Tanpa mencicipi bangku kuliah, menyandang gelar sarjana ia pun bisa membuktikan bahwa dirinya pun pantas disebut GURU, seseorang yang bisa digugu dan ditiru. Tak hanya menjadi guru sekolah dasar, ia juga menjadi ustad bagi anak-anak pulau, mangajarkan cara membaca Iqro dan Alquran setiap sore, setelah Magrib dan Isya, sesekali ia sisipkan nilai agama dalam metode pengajarannya itu. Ia juga mengisi pengajian Ibu-Ibu, memberikan wawasan kepada mereka tentang hukum islam.


Yusril menjadi salah satu santri yang dikirim ke wilayah pelosok tanah air untuk mengajar dan berdakwah selama setahun. Ia pun terbang ke bagian Timur Indonesia, didukung dari Dewan Dakwah Islamiayah (DDI), Hidayatullah, dan Yayasan Peduli Umat Temanggung. Selama mengabdi, ia mulai jatuh cinta dengan pulau berpasir putih dan laut berwarna tosca itu, cinta akan keindahan yang disajikan Sang Pemilik Alam, cinta akan ketulusan warga setempat dalam menghadapi peliknya roda kehidupan. Tak hanya itu, keprihatinan juga dirasakannya, jiwa persaudaraan sesama manusia bergejolak, ia merasakan kepedihan atas perlakuan Pemerintah Kabupaten Kupang yang memandang sebelah mata keberadaan warga penghuni pulau. Ia pun memantapkan hati, menancapkan niatnya dalam sanubari untuk menetap di sini, memberikan segenap jiwa dan raganya mencetak generasi muda Indonesia melalui pendidikan. Ia meyakini dengan pendidikan, hidup akan jauh lebih baik, terutama pondasi pendidikan agama sejak dini.

***


Meninggalkan 60 siswa yang masih haus akan ilmu, mengurungkan niatnya untuk pulang kampung. Setelah rampung menjalankan tugas selama setahun, putra kedua dari tiga bersaudara ini meminta izin orang tua untuk kembali ke pulau. Awalnya orang tua memberatkan, mengingat sang Ayah sakit terkena stoke, maklum saja perekonomian keluarga bertumpu pada penghasilan Ayah sebagai nelayan di Sumenep. Yusril tetap bersikekeh untuk kembali, penjelasan mengenai kondisi yang miris di sana, akhirnya mengetuk hati keluarga, ia pun mengantongi restu.

Setelah sebulan di rumah, keberangkatannya pun sudah dipersiapkan. Berbekal beberapa lembar uang, ia meluncur ke pulau yang berhadapan langsung dengan Teluk Kupang. Setelah tiga hari, kabar buruk menghampirinya. Sang Kakak menelpon menjelaskan bahwa Ayah sedang koma, beliau terus menyebut namamu, hal ini memaksanya untuk segera pulang. Tak pikir panjang, Yusril pun pamit kepada masyarakat di sana.


Sampai di Bandara El-tari, Kupang hanphone berdering kembali, nama sang kakak muncul, ia angkat telpon itu. Kakaknya mengisyaratkan untuk mentalqin sang Ayah, memandu beliau mengingat Zat Pemilik Nyawa, menyebut asma ilahi. Desiran menusuk hati, butiran air mata meleleh, perasaan berkecamuk, ingin segera sampai. Setibanya ia di Bandara Juanda, Surabaya lagi-lagi telpon berdering, mengagetkan. Kabar meninggalnya sang kepala keluarga menjadi berita terburuk baginya. Ia langsung duduk, terkulai lesu, air mukanya berubah merah, kecewa tak sempat memberikan salam perpisahan kepada lelaki penutannya itu. Sepanjang perjalanan, ia hanya terdiam, menutup mukanya dengan jaket agar air mata yang jatuh ini tak sampai diketahui orang sekitar. Perjalanan ke rumah masih terpaut jauh, setelah naik bus, ia masih harus menyebrang laut. Kebetulan kapal hari itu belum ada, terpaksa ia menunggu di pelabuhan selama dua hari. Perjalanan laut itu pun memakan waktu sampai dua hari, hingga total perjalanan sampai dirumah adalah seminggu. Hal ini, membuat Yusril tak bisa melihat wajah sang Ayah untuk terakhir kalinya, keluarga sudah memakamkan jenazah Ayahnya. Lantunan doa menjadi pengobat duka lara, ia terus memanjatkan untuk bekal sang Ayah di surga.


Ibu pun kembali memberikan restunya, saat Yusril mohon undur diri dan kembali mengajar di Pulau Kera. Sebagai penjual kue gendong milik tetangganya, beliau mafhum atas kesulitan yang di alami penduduk Pulau Kera. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang serba susah, ditambah tak ada akses pendidikan yang masuk, akan jadi apa bangsa ini. Ia berharap dengan ilmu yang dimiliki anaknya, walau sedikit bisa bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Berbekal uang saku dari donatur yang berasal dari Temanggung, Yusril pun kembali mengabdi ke Pulau Kera.

***


Dari pelabuhan Oeba, pulau ini nampak seperti titik putih. Dengan luas tak lebih dari 1 km2, sekitar 112 kepala keluarga menempati lokasi ini. Pulau dihuni oleh 99% masyarakat muslim yang berasal Sulawesi. Namun, warga pendatang ini sampai sekarang statusnya belum jelas. Pemerintah masih menganggap mereka termasuk pengguni liar, tak memiliki kartu identitas diri. Sebenarnya warga sudah berusaha mengurus soal pembuatan KTP, tapi pihak pemerintah tak menggubrisnya, alasannya warga tinggal di lahan sengketa (rebutan). Hal tersebut berimbas pada keberlangsungan hidup masyarakat, tak ada fasilitas yang mumpuni untuk bisa dinikmati. Ada masjid, itu pun dibangun berkat gotong royong warga, tiga sumur menjadi sumber air di pulau ini, namun air yang ada hanya payau, tak ada air tawar yang bisa dikonsumsi. Untuk keperluan masak dan minum, masyarakat membeli air bersih di Kota Kupang, dengan biaya Rp 2.500 per-derigennya. Air payau tersebut hanya digunakan untuk mencuci pakaian dan mandi.


Penghasilan melaut yang tidak tentu membuat masyarakat merasa berat jika harus terus membeli air bersih. Apalagi jika musim badai, hasil tangkapan semakin menipis tak jarang nihil. Kalau sudah bergini, garam dapur menjadi penyedap sekaligus lauk yang nikmat. Tak ayalnya, Yusril juga merasakan kegetiran itu. Menjadi guru tanpa gaji bulanan, ia hanya mengandalkan kiriman dari lembaga atau sesekali mendapat pesangon dari wisatawan yang singgah dan merasa iba. Namun, tak jarang kiriman menyusut, hal tersebut membuatnya ikut terjun langsung mencari sesuap nasi demi memenuhi kebutuhan rumah tangga kecilnya yang baru dibina pada 29 Maret 2014 bersama gadis setempat.


Sepulang dari mengajar anak-anak, ia sempatkan istirahat sejenak. Ba'da dhuhur Yusril mengajak sang istri memancing ikut perahu orang. Bila hasil tangkapannya lebih, biasa ia jual dan menukarnya dengan kebutuhan sehari-hari, agar dapurnya terus mengepul. Tapi jika perolehannya hanya beberapa ekor saja, maka cukup untuk makan sendiri.

***


Tahun 2014 suasana kembali mencekam, pagi-pagi penduduk sudah diboyong keluar rumah. Ratusan orang dikumpulkan, dikawal oleh orang berseragam. Pagi itu, sekitar 20 orang bertamu, salah seorang maju dan berkhutbah, memperingatkan penduduk setempat untuk segera mengosongkan pulau. Ia berujar bahwa pulau ini sudah dibeli. Untuk kesekian kalinya penggusuran ini dilakukan, namun selalu gagal. Warga tetap berjuang mempertahankan tanah yang sudah dihuni nenek moyang mereka sejak tahun 1911 silam.


Menurut warga, tidak ada undang-undang yang menyatakan pulau bisa dimiliki secara individu. Mereka pun mengajukan surat penolakan kepada Bupati. Tapi sayang justru pemerintah pun acuh, beralasan bahwa sebagian tanah milik pemerintah itu akan dijadikan lokasi wisata karena memang lokasi Pulau Kera masuk ke dalam Wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL).


Kini nasib penduduk pulau terkantung-kantung, entah sampai kapan mereka dihantui akan nasib dirinya yang tak jelas, sewaktu-waktu bisa diusir tanpa ampun. Namun, Yusril dan warga lainnya bertekad akan tetap berjuang mempertahankan pulau ini, apalagi di tengah pulau berdiri bangunan masjid yang menjadi tempat ibadah kaum muslim, tumpuan segala harapan.

***


Cobaan dilimpahkan kepada manusia sebagai tolak ukur keimanan. Seperti yang dirasakan suami dari Wanci ini, cobaan dirasakannya bertubi-tubi. Kini ia hanya bisa menatap puing-puing sisa bangunan sekolah yang roboh akibat terpaan badai pada bulan Mei 2015 lalu. Bangunan sekolah yang belum resmi terdaftar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan itu kini hanya tinggal kenangan, sapuan badai siang itu bisa merobohkan banguan semi permanen yang didirikan oleh lembaga Dewan Dakwah Islamiah (DDI) dari Jakarta itu. Sebelumnya petir juga menyengat salah satu penduduk yang sedang melaut. Akhirnya aktifitas pembelajaran lumpuh total, mereka tak bisa menikmati asyiknya membaca, sulitnya menulis bahkan nikmatnya ilmu pengetahuan.


Setelah seminggu sekolah diliburkan, Yusril beserta warga berembuk. Imam masjid akhirnya mempersilahkan tempat tinggalnya digunakan untuk belajar anak-anak. Rumah di sekat menjadi dua bagian, satu untuk sekolah dan satu untuk ditinggali keluarga Bapak takmir masjid tersebut. Bukan bangunan yang mewah atau luas, rumah itu terbuat dari bambu yang disusun, atapnya jerami dan lantai beralaskan pasir. Sempitnya ruangan tak bisa menampung semua anak, hanya muat untuk anak kelas 1 saja, masjid pun menjadi alternatif berikutnya, tempat ibadah ini dipakai oleh siswa kelas 2 dan 3 SD. Pondok inilah yang kini digunakan pria kelahiran 29 September 1994 ini untuk mengajar. Ia berharap pemerintah segera membuka jalan, memberikan bantuan guna kelangsungan generasi pengganti mereka kelak. Jika bocah-bocah ini dibiarkan dalam kebodohan, maka 50 tahun mendatang, saat Bapak Ibu sekarang tiada, akan seperti apa Indonesia mendatang.


Meski seorang diri, ia tetap berupaya memberikan pemahaman kepada anak dan orang tua perihal pentingnya pendidikan. Dengan ilmu maka hajat hidup Pulau Kera akan lebih baik. Tapi sering kali ia jumpai semangat anak didiknya menyusut karena himpitan ekonomi. Apalagi saat laut surut, orang tua lebih bangga jika anaknya membantu mencari ikan ketimbang duduk belajar di sekolah.

***

THE END

Barate, 20 November 2015



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support